Membaca Ulang Kecerdasan Ekologi Dalam Konteks Kekinian Untuk Peduli Lingkungan.

Membaca Ulang Kecerdasan Ekologi Dalam Konteks Kekinian Untuk Peduli Lingkungan.

Berdasarkan tinjauan buku Kecerdasan Ekologi – Mengungkap Rahasia di Balik Produk-Produk yang Kita Beli, karya Daniel Goleman Tahun 2010.

Kamis, 28 Juli 2022

Pengantar

Buku Kecerdasan Ekologi telah hadir dalam kurun waktu 12 tahun yang lalu. Ditulis oleh Daniel Goleman, seorang psikolog dan jurnalis sains asal Amerika Serikat yang banyak menghasilkan buku bestseller internasional, seperti buku Emotional Intelligence. Dalam buku Kecerdasan Ekologi, Daniel Goleman mengungkapkan dampak tersembunyi barang-barang yang kita produksi dan kita beli terhadap lingkungan dan bagaimana dengan pengetahuan baru ini kita dapat membuat perubahan penting demi menyelamatkan bumi dan diri kita sendiri. Kecerdasan Ekologi di maknai sebagai kemampuan untuk beradaptasi terhadap tempat ekologis kita berada.

Meskipun buku ini telah cukup lama hadir, tetapi informasi yang ada di dalamnya hingga saat ini masih sangatlah relevan dan ‘menggigit’ untuk dibaca ulang sesuai dengan konteks saat ini. Hal ini juga bisa menjadi pengingat kembali untuk menggugah kesadaran kita semua terhadap kondisi ekologi saat ini. Terlebih lagi bagaimana industri yang ditopang oleh sistem oligarki saat ini senantiasa berlomba untuk memproduksi barang – barang kebutuhan manusia. Dari hari ke hari iklan produk memborbardir kesadaran dan alam bawah sadar melalui pembentukan gaya hidup dan pencitraan. Satu model produk diciptakan, tidak perlu menunggu waktu lama produk berikutnya sudah muncul lagi dan begitu seterusnya.

 

Lalu apa rahasia yang diungkap dari produk – produk yang kita beli dan hubungan dengan konteks saat ini?

Melalui buku tersebut, sang penulis menjelaskan mengapa begitu banyak produk yang diberi label “hijau” atau ‘organik’ ternyata cuma omong kosong belaka sekarang lebih dikenal ‘omdo’ (omong doang) dan kita sebagai pembeli menjadi korban dari tidak tersedianya informasi tentang efek merugikan yang timbul dari proses produksi, pengiriman, pengemasan, pendistribusian, dan perilaku nyampah dari pembuangan barang yang kita beli. Sebagai contoh Shampo “herbal” ternyata mengandung senyawa industri yang dapat mengancam kesehatan atau meracuni lingkungan, Losion tabir surya misalnya, yang di pakai ketika hendak menyelam dapat menularkan virus yang bisa mematikan terumbu dan T-shirt katun organik ternyata menggunakan bahan pencelup yang bisa menyebabkan pekerja pabrik berisiko terkena leukemia…

 

Community Organizing for Action: Meneguhkan pengorganisasian  komunitas sebagai aksi membangun kesadaran kritis.

Community Organizing for Action: Meneguhkan pengorganisasian  komunitas sebagai aksi membangun kesadaran kritis.

Halo, Sobat Lingga Indonesia, udah pernah atau belum sih kalian semua bertemu dan melakukan perbincangan dengan komunitas buruh, petani, kaum miskin kota, pekerja seks, anak jalanan atau komunitas marjinal lainnya? Kalaupun belum pernah bersinggungan setidaknya bisa membayangkan ketika bertemu mereka. Apa yang sobat rasakan dan pikirkan saat bertemu mereka? Apakah mereka sebagai bagian kelompok yang tertinggal oleh pembangunan? Apakah juga mereka merupakan kelompok yang selalu berkeluh kesah? Ataukah mereka sebenarnya baik – baik saja, negara (pemerintah) sudah menjamin keberlangsungan hidup mereka?

Nah, tentunya akan banyak sekali pertanyaan yang muncul dan gambaran situasi yang didapatkan dan ketika itu ditarik secara horizontal maupun vertikal persoalan – persoalan yang dihadapi oleh mereka situasinya akan menjadi rumit alias njlimet. Mengurai hal tersebut tentunya membutuhkan waktu, tenaga dan pemikiran yang banyak (eh sebentar.. uang diperlukan juga gak ya). Paradigma pembangunan saat ini juga sudah berkembang sedemikian rupa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tentunya ini tidak hanya menjadi persoalan lokal ataupun nasional, bahkan secara global, semua sudah terhubung melalui komitmen global yang bertujuan untuk menggapai kehidupan umat manusia dan alam yang lebih baik dan berkeadilan. Sementara itu benturan – benturan kepentingan di antara aktor pembangunan juga banyak terjadi dan berkamuflase dalam berbagai bentuknya yang menjadi tantangan besar untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.

Lingga Indonesia sebagai bagian dari entitas organisasi masyarakat sipil mempunyai jargon ‘Community Organizing for Action’ sebagai sebuah hasil diskusi panjang pengalaman – pengalaman pendampingan masyarakat sebelumnya dari para individu – individu yang saat ini bergabung mengelola Lingga Indonesia. Kami meyakini bahwa aksi pengorganisasian komunitas menjadi satu hal yang sangat penting dalam mendorong perubahan dan membangun kesadaran kritis komunitas / masyarakat. Dalam perjalanan organisasi, dengan segala keterbatasannya, tim pengurus Lingga Indonesia berupaya untuk membangun organisasi dan meletakkan pondasi gerak organisasi dengan membangun diskursus wacana kesadaran kritis melalui strategi komunikasi dan aksi dalam kegiatannya.

Oh ya sobat, saat ini setelah 2 tahun dalam masa pandemi COVID 19, banyak sekali bermunculan organisasi / komunitas peduli sosial, pendamping dan pemberdayaan komunitas, yang bersifat pengorganisasian, karitatif, filantropi dan voluntary. Berbasis teknologi informasi dan di gawangi oleh kaum muda sebagai bentuk altruisme (Kepekaan social) dan simpati terhadap kondisi masyarakat. Banyak sekali kegiatan yang dihasilkan mulai dari tingkat kampanye hingga aksi langsung di komunitas/ masyarakat dengan berbagai macam concern isu masing-masing organisasi. Hal ini juga menunjukkan regenerasi aktivisme pada kaum muda sebagai aktivis sosial.  Dengan berbagai platform media digital, informasi menjadi semakin cepat dan menjangkau sasaran lebih luas. Pemanfaatan plafform digital juga meningkatkan literasi dan kreativitas metode kegiatan serta konten informasi.

Catatan kritis dari proses – proses pemberdayaan masyarakat/ komunitas yang sudah berjalan selama ini, kemudian jangan sampai menjadi sebuah budaya populis yang berakibat mengaburkan esensi dan ruh dari pemberdayaan itu sendiri yang membawa mandat transformasi sosial masyarakat harus lebih kritis dan berdaya. Jangan sampai kemudian situasi euforia teknologi ini menjadikan kelompok pendamping yang malah lebih eksis karena mereka menguasai IT, kira-kira pameonya ‘sedikit aksi banyak selfi’. Jangan sampai juga kemudian organisasi dimanfaatkan menjadi alat kepentingan bagi pihak – pihak tertentu yang kontra produktif dan masih banyak juga kemungkinan yang lain.

Jika anda bukan bagian dari penyelesaian, maka anda adalah bagian dari persoalan”

“Lho ini khan bagian dari kebebasan berekspresi?” Iya, memang bagian dari kebebasan, tapi lakukan itu dengan bertanggungjawab dan attitude yang etis. Kebebasan itu juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sementara itu bagi sebagian besar masyarakat kita, takut akan kebebasan, seperti dalam bukunya Erich Fromm: Escape from Freedom, kebebasan adalah sesuatu yang menakutkan bagi manusia karena dengan kebebasan seorang manusia dituntut untuk bertanggungjawab atas semua keputusan yang diambilnya sendiri di tengah suasana persaingan yang keras. Oleh karena itu banyak orang dan kelompok mengambil keputusan dan memilih tunduk pada orang – orang kuat yang mau memberi perlindungan dengan melepaskan kebebasan dan menerapkan konformasi. Hal inilah yang menjadi basis terbentuknya politik identitas dan populisme dalam struktur masyarakat yang lebih luas.

Setidaknya beberapa hal paradoks ini menjadi kewaspadaan bersama untuk tetap menjaga idealisme pemberdayaan masyarakat, seperti jargon di era akhir tahun 90an – awal tahun 2000an, “Jika anda bukan bagian dari penyelesaian, maka anda adalah bagian dari persoalan”.