Sebuah Refleksi Menuju Zero AIDS 2030
Menjelang di penghujung tahun, pada setiap 1 Desember, seluruh dunia memperingati Hari AIDS Sedunia. Sebagian besar warga dunia bersatu untuk menunjukkan dukungan kepada orang yang hidup dan terdampak oleh HIV, mengenang mereka yang kehilangan nyawa karena AIDS, merefleksikan apa yang sudah dilakukan untuk melawan HIV dan membangun harapan dan mimpi bersama bahwa pada saatnya nanti HIV bisa dikalahkan. Setiap tahun peringatan Hari AIDS Sedunia jamak dilakukan oleh pegiat, aktivis, relawan, orang yang terdampak HIV (ODHA – Orang dengan HIV & AIDS), pemerintah, LSM, akademisi bahkan sampai masyarakat umum yang peduli terhadap HIV dengan berbagai kegiatan demonstratif untuk menunjukkan kepada dunia bahwa HIV masih menjadi ancaman kesehatan sampai saat ini. Mereka (para ODHA) yang selama ini berada di ‘balik tirai’ dan arena ‘pertempuran’ melawan HIV karena stigma dan diskriminasi yang kuat, pada momentum 1 Desember menemukan jalannya untuk menunjukkan ke public dan menjadikannya semacam ‘sinyal peringatan’ tolong jangan jauhi kami – jauhi virusnya bukan orangnya – kami setara dengan anda.
Sejarah Peringatan Hari AIDS Sedunia
Menarik sekali sebelum melangkah ke depan, sejenak kita melihat ke belakang, sampai saat ini sudah seperti apa penanganan AIDS yang sudah dilakukan di tingkat nasional bahkan sampai ke tingkat lokal? Sudah seperti apa kita memperlakukan teman, saudara dan komunitas yang terpapar HIV & AIDS? Bagaimana sebagian kita yang mengerti HIV & AIDS mengedukasi masyarakat tentang bahaya HIV apakah sudah menjangkau masyarakat keseluruhan? Bagaimana stigma dan diskriminasi terhadap ODHA sampai saat ini? Bagaimana dukungan kebijakan, anggaran dan kelembagaan untuk penanggulangan HIV & AIDS? Dan tentunya banyak sederet pertanyaan lain yang akan muncul.
Estimasi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 640.443, tapi yang bisa dideteksi sejak tahun 1987 sd. 31 Maret 2020 hanya 511.955 (sumber P2P Kemenkes RI, Maret 2020)atau 79,94 persen. Itu artinya ada 128.499 Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang tidak terdeteksi. ODHA yang tidak terdeteksi ini jadi mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat karena mereka tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Ini terjadi karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas pada fisik ODHA dan tidak ada pula keluhan kesehatan yang khusus merujuk pada penyakit HIV/AIDS. Selain itu merujuk pada data UNAIDS terkait kasus baru HIV di Indonesia pada tahun 2016 terdapat kasus baru 48 ribu, tahun 2017 ada 49 ribu dan di tahun 2019 terdapat 46 ribu kasus baru. Melihat data tersebut bisa dikatakan masih cukup tinggi laju tingkat penularan HIV yang terjadi. Belum lagi kondisi setiap tahun yang selalu muncul, berkaitan dengan ketersediaan ARV di rumah sakit yang dirasakan belum mencukupi bagi ODHA karena distribusi yang terhambat sampai persoalan – persoalan tingkat dewa yang tidak mudah untuk mengurainya misalkan proses impor ARV, ketergantungan pembiayaan ARV pada donor, sampai pada tingkat manajemen distribusi.
Apa yang terjadi sekarang setidaknya mencerminkan apa yang sudah dilakukan di belakang, sehingga hal ini bisa menjadi refleksi bagi kita bersama dan evaluasi untuk aksi selanjutnya. Sekira 10 tahun yang lalu tantangan dan dinamika yang ada tentunya akan berbeda dengan tantangan 10 tahun ke depan, dimana cita-cita zero AIDS 2030 ditasbihkan di tahun 2020 ini yang berbarengan dengan adanya pandemi Covid-19 yang meluluhlantakan sendi – sendi kehidupan umat manusia yang telah dibangun selama ini.
Di tahun 2020 ini, dunia dihentakkan dengan adanya pandemi Covid-19 termasuk Indonesia yang menyatakannya pada awal Maret 2020. Hal ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan manusia dalam ranah kesehatan saja, tetapi juga sangat mempengaruhi semua sektor kehidupan manusia. Pandemi COVID-19 telah menghadirkan tingkat kerentanan hidup yang luar biasa bagi umat manusia dimana segala sesuatu koneksi langsung antar manusia dibatasi, sesuatu yang belum pernah terjadi pada peradaban manusia di abad millennium dan hal ini berhubungan sekali dengan situasi – situasi kritis sosial, ekonomi, HAM, kesetaraan gender dan lainnya.
Selain hal di atas, Covid 19 juga menunjukkan terbangunnya rasa empati, kepedulian dan kerjasama antar sesama manusia, setidaknya memunculkan sikap bersama akan adanya ‘common enemy’ yang harus dihadapi bersama supaya situasi semakin tidak memburuk. Di tengah situasi hantaman COVID-19 seperti itu, penanganan HIV & AIDS mendapatkan beban tambahan dimana semua orang yang bergelut dengan penanganan HIV & AIDS maupun mereka yang terpapar oleh HIV, harus memastikan bahwa mereka harus tetap terlindungi dari COVID-19 di setiap level resiko dan situasi sosial yang dihadapi, karena bila tidak hal itu akan semakin memperburuk situasi dalam berbagai sector, tidak hanya terkait layanan kesehatan HIV saja.
Di tengah tantangan kondisi seperti ini tentunya sesuai dengan tema peringatan Hari AIDS Sedunia diperlukan solidaritas global untuk mencapai akhir AIDS 2030 dengan memastikan sistem kesehatan semakin diperkuat, layanan HIV yang mudah di akses oleh siapapun, pembiayaan yang mencukupi, penghormatan terhadap HAM pada kelompok resiko tinggi dan populasi kunci yang terpinggirkan serta pemenuhan hak perempuan dan anak dalam koridor kesetaraan gender. Solidaritas global ini dibangun tidak hanya dari mereka saja yang berkecimpung dalam penanganan HI, tetapi siapapun bisa berkontribusi positif dalam upaya mengakhiri AIDS di 2030.
Tentu menjadi harapan semua pihak, dalam kurun waktu 10 tahun mendatang cita – cita (yang ambisius) ini bisa terwujud, melalui percepatan – percepatan strategi penanggulangan HIV yang inovatif, pelibatan – pelibatan banyak pihak dalam berbagai level struktural maupun kultural dan semakin terkikisnya faktor penghambat penanganan HIV terkait dengan stigma dan diskriminasi. Menjadi harapan kita semua 10 tahun ke depan, penanganan HIV menjadi sesuatu yang dinamis, tidak stagnan dan 1 Desember bukan hanya menjadi kegiatan seremonial yang hanya berisi jargon – jargon tanpa perubahan.
Melalui peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2020 di tengah pandemi Covid-19 ini, LGI memberikan penghormatan yang sebesar – besarnya kepada mereka yang telah berjuang di garis depan penanggulangan HIV & AIDS dan mereka kelompok populasi kunci yang berada di tengah – tengah resiko ancaman tertular HIV. Bangun solidaritas global, akhiri AIDS di tahun 2030.
Diunggah oleh : Iwan
Recent Comments