Halo, Sobat Lingga Indonesia, udah pernah atau belum sih kalian semua bertemu dan melakukan perbincangan dengan komunitas buruh, petani, kaum miskin kota, pekerja seks, anak jalanan atau komunitas marjinal lainnya? Kalaupun belum pernah bersinggungan setidaknya bisa membayangkan ketika bertemu mereka. Apa yang sobat rasakan dan pikirkan saat bertemu mereka? Apakah mereka sebagai bagian kelompok yang tertinggal oleh pembangunan? Apakah juga mereka merupakan kelompok yang selalu berkeluh kesah? Ataukah mereka sebenarnya baik – baik saja, negara (pemerintah) sudah menjamin keberlangsungan hidup mereka?

Nah, tentunya akan banyak sekali pertanyaan yang muncul dan gambaran situasi yang didapatkan dan ketika itu ditarik secara horizontal maupun vertikal persoalan – persoalan yang dihadapi oleh mereka situasinya akan menjadi rumit alias njlimet. Mengurai hal tersebut tentunya membutuhkan waktu, tenaga dan pemikiran yang banyak (eh sebentar.. uang diperlukan juga gak ya). Paradigma pembangunan saat ini juga sudah berkembang sedemikian rupa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tentunya ini tidak hanya menjadi persoalan lokal ataupun nasional, bahkan secara global, semua sudah terhubung melalui komitmen global yang bertujuan untuk menggapai kehidupan umat manusia dan alam yang lebih baik dan berkeadilan. Sementara itu benturan – benturan kepentingan di antara aktor pembangunan juga banyak terjadi dan berkamuflase dalam berbagai bentuknya yang menjadi tantangan besar untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.

Lingga Indonesia sebagai bagian dari entitas organisasi masyarakat sipil mempunyai jargon ‘Community Organizing for Action’ sebagai sebuah hasil diskusi panjang pengalaman – pengalaman pendampingan masyarakat sebelumnya dari para individu – individu yang saat ini bergabung mengelola Lingga Indonesia. Kami meyakini bahwa aksi pengorganisasian komunitas menjadi satu hal yang sangat penting dalam mendorong perubahan dan membangun kesadaran kritis komunitas / masyarakat. Dalam perjalanan organisasi, dengan segala keterbatasannya, tim pengurus Lingga Indonesia berupaya untuk membangun organisasi dan meletakkan pondasi gerak organisasi dengan membangun diskursus wacana kesadaran kritis melalui strategi komunikasi dan aksi dalam kegiatannya.

Oh ya sobat, saat ini setelah 2 tahun dalam masa pandemi COVID 19, banyak sekali bermunculan organisasi / komunitas peduli sosial, pendamping dan pemberdayaan komunitas, yang bersifat pengorganisasian, karitatif, filantropi dan voluntary. Berbasis teknologi informasi dan di gawangi oleh kaum muda sebagai bentuk altruisme (Kepekaan social) dan simpati terhadap kondisi masyarakat. Banyak sekali kegiatan yang dihasilkan mulai dari tingkat kampanye hingga aksi langsung di komunitas/ masyarakat dengan berbagai macam concern isu masing-masing organisasi. Hal ini juga menunjukkan regenerasi aktivisme pada kaum muda sebagai aktivis sosial.  Dengan berbagai platform media digital, informasi menjadi semakin cepat dan menjangkau sasaran lebih luas. Pemanfaatan plafform digital juga meningkatkan literasi dan kreativitas metode kegiatan serta konten informasi.

Catatan kritis dari proses – proses pemberdayaan masyarakat/ komunitas yang sudah berjalan selama ini, kemudian jangan sampai menjadi sebuah budaya populis yang berakibat mengaburkan esensi dan ruh dari pemberdayaan itu sendiri yang membawa mandat transformasi sosial masyarakat harus lebih kritis dan berdaya. Jangan sampai kemudian situasi euforia teknologi ini menjadikan kelompok pendamping yang malah lebih eksis karena mereka menguasai IT, kira-kira pameonya ‘sedikit aksi banyak selfi’. Jangan sampai juga kemudian organisasi dimanfaatkan menjadi alat kepentingan bagi pihak – pihak tertentu yang kontra produktif dan masih banyak juga kemungkinan yang lain.

Jika anda bukan bagian dari penyelesaian, maka anda adalah bagian dari persoalan”

“Lho ini khan bagian dari kebebasan berekspresi?” Iya, memang bagian dari kebebasan, tapi lakukan itu dengan bertanggungjawab dan attitude yang etis. Kebebasan itu juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Sementara itu bagi sebagian besar masyarakat kita, takut akan kebebasan, seperti dalam bukunya Erich Fromm: Escape from Freedom, kebebasan adalah sesuatu yang menakutkan bagi manusia karena dengan kebebasan seorang manusia dituntut untuk bertanggungjawab atas semua keputusan yang diambilnya sendiri di tengah suasana persaingan yang keras. Oleh karena itu banyak orang dan kelompok mengambil keputusan dan memilih tunduk pada orang – orang kuat yang mau memberi perlindungan dengan melepaskan kebebasan dan menerapkan konformasi. Hal inilah yang menjadi basis terbentuknya politik identitas dan populisme dalam struktur masyarakat yang lebih luas.

Setidaknya beberapa hal paradoks ini menjadi kewaspadaan bersama untuk tetap menjaga idealisme pemberdayaan masyarakat, seperti jargon di era akhir tahun 90an – awal tahun 2000an, “Jika anda bukan bagian dari penyelesaian, maka anda adalah bagian dari persoalan”.